Harga Daging Sapi Naik, di DKI ‘Meledak’ ke 180.000
Harga daging sapi di wilayah Jakarta meledak hingga sentuh Rp180.000 per kg. Informasi Pangan Jakarta mencatat, harga tersebut merupakan tertinggi di wilayah DKI hari ini, Senin (12 September 2022), di pasar Pal Meriam.
Harga terendah di DKI dilaporkan di pasar Mampang Prapatan, yaitu Rp140.000 per kg.
Secara rata-rata wilayah DKI Jakarta, harga daging sapi hari ini naik Rp68 jadi Rp148.068 per kg untuk jenis has/ paha belakang.
Dan jenis sapi murni (semur) naik Rp187 jadi Rp143.804 per kg, dengan harga termahal Rp160.000 per kg di pasar Pluit dan terendah Rp130.000 per kg di pasar Kramat Jati.
Secara rata-rata nasional hari ini, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat, harga daging sapi kualitas 1 naik Rp100 jadi Rp137.550 per kg dan kualitas 2 naik Rp100 jadi Rp128.150 per kg.
Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf mengatakan, kenaikan harga daging sapi ini di luar kebiasaan.
“Saya bilang ini anomali. Rada aneh kalau harga daging sapi naik sekarang. Sekarang-sekarang ini lagi bulan Safar, di mana dalam budaya Jawa, haram mengadakan pesta. Jadi, konsumsi daging saat ini sebenarnya sedang turun, pasar lesu. Makanya saya kaget juga harga naik,” kata Rochadi kepada CNBC Indonesia, Senin (12/9/2022).
Karena itu, lanjutnya, meski ada penurunan pasokan lintas daerah karena penanganan wabah PMK, efeknya seharusnya tidak terlalu signfikan hingga menaikkan harga daging sapi gila-gilaan.
Juga, kata dia, kenaikan harga BBM tidak terlalu signifikan sampai mendongkrak harga daging sapi.
“Penguncian wilayah karena PMK mungkin saja menurunkan pasokan. Tapi nggak signifikan dampaknya. Karena itu tadi, konsumsi sedang turun,” ujarnya.
“Saya juga pernah tanya efek kenaikan harga BBM, kalau pun naik harga, paling dari Rp50.000 per kg sapi hidup jadinya Rp51.000 per kg sapi hidup. Efek rentetan ke harga dagingnya juga nggak terlalu besar,” tambahnya.
Selain karena momen bulan Safar, kata Rochadi, konsumsi daging juga sedang lesu karena melemahnya daya beli.
“Jadi demand lagi turun, aneh kalau harga naik,” pungkas Rochadi.